Tuhan, Izinkan Aku Berdosa. Sumber: detik.com |
Halo, Sobat Abhinaya Meraki! Siapa sih yang nggak suka nonton film? Selain hiburan, film
itu juga media keren buat nyampaikan pesan sosial atau fenomena di sekitar
kita. Bisa dibilang, film adalah miniatur realitas sosial yang kita hadapi
sehari-hari. Salah satu film Indonesia yang bold banget angkat isu
sosial adalah Tuhan, Izinkan Aku
Berdosa. Penasaran nggak? Yuk, kita kupas bareng-bareng!
Film
ini disutradarai oleh Hanung Bramantyo
dan naskahnya ditulis oleh Ifan Ismail,
diadaptasi dari novel fenomenal Tuhan
Izinkan Aku Menjadi Pelacur karya Muhidin M. Dahlan. Tayang perdana pada 22 Mei 2024, film ini sukses menyedot 655.725 penonton ke bioskop. Angka ini nunjukin bahwa cerita yang
ngulik isu sosial mendalam masih punya tempat spesial di hati masyarakat
Indonesia.
Ngomongin
soal penonton, reaksi mereka tuh beragam banget. Di platform X, khususnya di akun WatchmenID, diskusi soal film ini
ramai banget. Ada yang bilang judulnya provokatif
karena kesannya seperti “izin buat dosa,” bikin orang ngerasa terganggu secara
moral dan agama. Tapi banyak juga yang apresiasi
keberanian film ini ngebahas isu kemunafikan di lingkungan
keagamaan—tema yang jarang banget diangkat secara eksplisit.
Dari
sini, kelihatan kalau film itu nggak cuma buat hiburan aja, tapi juga bisa jadi
cermin realitas sosial. Jadi,
gimana menurut kalian, Sobat Abhinaya Meraki? Film ini kontroversial atau
justru bikin kita makin kritis?
Tuhan, Izinkan Aku Berdosa dengan berani mengangkat isu ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan di
pesantren. Tempat yang seharusnya jadi pusat belajar moral dan agama malah
sering jadi arena manipulasi kekuasaan, kayak yang dialami Kiran, tokoh utama.
Pesantren di Indonesia emang sering dipandang suci, tapi nggak semua pesantren
aman, terutama buat santri perempuan.
Film
ini hadir di momen yang pas, ketika semakin banyak korban pelecehan seksual
yang berani speak up. Dengan sudut
pandang yang tajam, film ini ngekritik kemunafikan dan patriarki, sambil
nunjukin gimana agama kadang dijadiin tameng buat nutupin penyalahgunaan
kekuasaan. Pesan moralnya jelas banget:
kita harus lebih kritis sama struktur sosial yang nggak adil.
Perjalanan Kiran
di film ini bikin hati campur aduk. Digambarkan cerdas dan kritis, Kiran
menghadapi banyak tantangan berat. Interaksinya dengan tokoh laki-laki seperti Abu Darda, Tomo, dan Alim Suganda ngasih kita gambaran
nyata gimana perempuan sering dijadikan objek eksploitasi.
Ada
satu momen emosional yang bikin hati sesak: Kiran bertanya pada Tuhan, “Apakah
Kau sedang menghukumku atau Engkau sedang menguji kesabaranku? Setiap
pengabdianku pada-Mu Kau balas dengan kekecewaan.” Pergulatan batin
ini akhirnya bikin Kiran memilih jalan sebagai pelacur—bentuk protesnya
terhadap kemunafikan di sekitarnya. Ironisnya, keputusan ini malah makin
nunjukin betapa kuatnya cengkeraman patriarki yang bikin perempuan terus jadi
korban.
Tapi,
perjuangan Kiran buat ngungkap sisi gelap para pria terhormat jadi highlight penting film ini. Ceritanya
bukan cuma soal isu personal, tapi juga ngangkat masalah yang lebih besar:
ketidakadilan dalam struktur sosial kita. Kiran adalah simbol perlawanan yang bikin kita sadar kalau perjuangan perempuan
itu belum selesai.
Selain
ceritanya, elemen sinematik film
ini juga juara. Pencahayaan gelap, sudut kamera close-up, dan musik yang
emosional bikin pesan film ini makin kuat. Misalnya, pencahayaan gelap
menciptakan nuansa tegang yang ngingetin kita sama sisi gelap kemunafikan,
sementara musiknya bikin perjalanan emosional Kiran makin ngena.
Namun, film ini juga punya beberapa kekurangan
yang perlu diperhatikan:
1. Adegan di Gunung yang Kurang Masuk Akal
Salah satu bagian yang cukup mengganggu adalah adegan Kiran dan temannya
mendaki gunung tanpa membawa persiapan. Hal ini terasa kurang realistis dan
agak mengganggu jalannya cerita. Padahal, scene ini penting karena menunjukkan
sisi Kiran yang meluapkan kekecewaannya terhadap Tuhan.
2. Ending yang Terasa Terbuka
Ada juga yang merasa bahwa ending film ini terlalu terbuka dan nggak memberikan
penyelesaian yang memuaskan. Walaupun mungkin sengaja dibuat seperti itu untuk
mengundang diskusi, sebagian penonton tetap berharap ada penutup yang lebih
jelas untuk perjalanan Kiran.
Kesimpulannya,
Tuhan, Izinkan Aku Berdosa bukan
cuma tontonan biasa. Ini film yang ngajak kita buat refleksi, terutama tentang
gimana ideologi bisa membentuk perilaku sosial. Pesannya sederhana tapi dalam:
kita perlu sadar sama norma-norma sosial yang ada, dan terus berjuang buat
keadilan, terutama buat perempuan di tengah masyarakat patriarkis.
Jadi,
Sobat Abhinaya Meraki, menurut kalian, apakah film ini berhasil menyentuh sisi
kritis kita? Let’s discuss!
Penulis: Novi Dwi Putriana
Instagram: @abhinayameraki
TikTok: @abhinaya.meraki
Youtube: Abhinaya Meraki
Sumber:
Kurnia Handita. (2024). Analisis Framing Film Tuhan Izinkan Aku Berdosa. Da’watuna: Journal of Communication and Islamic Broadcasting, 4(5), 1797–1805.
Rozaq, A. (2024). Analisis Pesan Dakwah Dalam Film Tuhan Izinkan Aku Berdosa. Jurnal Kajian Islam Dan Sosial Keagamaan, 2(2), 171–191.
WatchmenID. (2024). Review untuk Tuhan, Izinkan Aku Berdosa (2024). X.
Komentar
Posting Komentar